Benarkah Perguruan Tinggi adalah Produsen Koruptor Kelas Kakap ?


Eksotisme Korupsi telah menjadi budaya yang disepakati bersama oleh orang-orang tidak bermoral di bumi pertiwi. Tidak hanya pemerintah, rakyatnya juga. Semuanya sama-sama suka korupsi. Namun yang paling mengkhawatirkan saya adalah bahwa koruptor-koruptor kelas kakap dengan high level of corruption diperankan oleh orang-orang berpendidikan penyandang gelar akademik dari perguruan-perguruan tinggi. Tidak usahlah saya sebutkan nama dan gelar spesifiknya, terlalu banyak. Namun yang jelas ini adalah suatu paradoks istimewa yang mengguncang nalar saya bahwa hukum persamaan antara gelar akademik dan moral ternyata tidak selalu berbanding lurus. Tulisan ini hanya saya konstruksi dari observasi saya pribadi, oleh karena itu sikap skeptisme pembaca saya harapkan dapat memfilter dengan bijak dan cerdas.
Saat-saat diperguruan tinggi merupakan momen yang tepat dalam mengembangkan softskill penunjang karakter ke-korupsi-an. Misalnya dalam budaya mencontek -bibit korupsi- , kebanyakan ”mahasiswa-mahasiswa sekedar pencari gelar” memanfaatkan fenomena ini untuk menunjukan eksistensinya sebagai ”pencontek ulung” dan ajaibnya, mereka bangga atas hasilnya. Mencontek saja perlu kecerdasan dan bukan sekedar mencontek. Tetapi dengan trik-trik sulap yang sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelumnya dengan gaya-gaya yang mampu menipu dosen.
Kedua, jika anda seorang aktivis organisasi, kegiatan-kegiatan organisasi biasanya dibiayai oleh dana perguruan tinggi. Mahasiswa biasanya dituntut membuat manajemen anggaran untuk setiap kegiatan-kegiatan organisasi dan parahnya seringkali terjadi manipulasi data yang dilakukan mahasiswa agar anggaran tersebut tepat padahal dananya dialihkan untuk tujuan lain. Namun demi menjaga ”neraca keseimbangan” karena harus memberikan laporan kepada yang empunya dana terkait penggunaan untuk kegiatan-kegiatan mahasiswa dan biasanya perguruan tinggi tidak mau tahu menahu mengenai penggunaan ”biaya siluman” ini dan mengesahkan saja pertanggungjawaban mahasiswa atas kegiatannya.
Ketiga, mahasiswa dijadikan koruptor intelektual untuk menjadi perompak karya orang lain (plagiat) demi sebuah esteem yang dianggap rasional. Mahasiswa dijejali tugas-tugas yang tidak kreatif dan akhirnya memaksa mahasiswa melalukan kecurangan akademik demi memenuhi syarat mata kuliah tertentu.

Anda pasti akan menganggap bahwa tulisan ini sangat subyektif, memang tulisan ini sangat subyektif dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Tapi anda bisa melihat realitanya sendiri di kemudian hari dan buktikan senciri oleh panca indera anda dan gunakan akal sehat untuk mencermatinya. Anda juga pasti beranggapan bahwa sebenarnya mahasiswa sendirilah yang salah bukan perguruan tingginya. Benarkan?, tapi coba anda berpikir secara holistik bahwa perguruan tinggi dan mahasiswa adalah sistem yang saling terkait. ”makna” pendidikan sesungguhnya telah hilang dan berganti dengan sistem pengajaran ala Hitler yang memberi ruang kepada mahasiswa untuk meninggalkan kreativitas terbaiknya mahasiswa telah dijadikan budak-budak intelektual tanpa pendidikan moral.

0 komentar:

Posting Komentar

    Merah Putih Clothing & Design

Pamplet Bulan April

Pamplet Bulan April

Kampus

Institut Pertanian Bogor