Menggugat Pendidikan di Indonesia

Pendidikan yang seharusnya mampu menjadi sumber pencerahan dan pemecah masalah kini justru menjelma menjadi masalah dalam kehidupan. Bagaimana tidak?, pendidikan yang awalnya mulia dengan bertumpu pada filosofi bahwa pendidikan adalah untuk “memanusiakan manusia” telah direduksi total maknanya hingga hanya menjadi sekedar pengajaran atau pelatihan semata. Hal ini kemudian memunculkan masalah yang sangat kompleks sebab output dari pendidikan yang seyogyanya menciptakan manusia ”beradab”, faktanya justru menghasilkan manusia-manusia ”biadab” dengan fungsi rasionalitas yang dianggap wajar pada struktur sosial masyarakat.
Dalam hal ini kita harus jeli dalam membedakan antara pendidikan dan pengajaran sebab jelas kedua hal tersebut sangat berbeda. Hal ini kemudian tercermin pada sekolah dan universitas-universitas di negeri ini yang menurut saya hanya mampu menciptakan sistem pengajaran yang baik. Namun belum mencapai ranah pendidikan dalam arti yang sebenarnya. Terlalu banyak guru dan dosen yang bukan pendidik, hanya sebatas pengajar yang terkadang arogan dalam berkreasi hingga terkadang seolah berkuasa terhadap ilmu pengetahuan.
Lebih jauh berbicara tentang pendidikan, pada aras penyelenggara negara. Pendidikan telah dijadikan komoditi paling komersil yang diperjual-belikan untuk kepentingan segelintir manusia. Apa jadinya pendidikan jika ”kebijakan” tentang pendidikan diserahkan kepada ”manusia serigala” yang suka menumpuk uang seperti paman Gober. Hingga tidak jarang para penguasa berselingkuh dengan pemodal-pemodal yang tamak kemudian menciptakan sistem pendidikan instan dan praktis dengan menjanjikan cetak biru masa depan yang indah padahal palsu. Hal ini tanpa disadari telah menjadi suatu ”kewajaran” dengan membiarkan kreativitas-kreativitas anak bangsa ”dikebiri”, memperkosa pemikiran-pemikiran kritis dari kaum pembelajar dengan memberikan sistem pengajaran yang satu arah dan monoton dari pangajar-pengajar bersertifikat abal-abal.
Andai dapat bertemu dengan ”Bapak Pendidikan” saya ingin bertanya cita-cita mulianya terhadap pendidikan di Indonesia. Benarkan seperti ini yang beliau harapkan, ataukah saya terpaksa memberikan saputangan saya agar beliau dapat menyeka air matanya yang mengalir deras setelah melihat realita ini ?

Selamat hari Pendidikan. Semoga pendidikan tidak hanya diperingati.
Read More...

Matinya Pergerakan Mahasiswa

Hari ini, saya melihat kaum saya tidak berdaya, tertekan oleh mewahnya keduniawian.Identitas mereka sebagai generasi muda sudah lenyap. Kini angan-angan itu hanya sebuah fatamorgana semu dalam tabir kegelapan intelektual.

Ketika saya membaca karya guru-guru pendahulu tentang filosofi mahasiswa, hati saya terketuk untuk menulis tulisan ini dan ingin menyampaikan pada dunia bahwa kehidupan sudah semakin tidak bisa saya rasionalkan. Saya termangu melihat bagaimana kaum saya berusaha keras untuk berjuang, namun bukan berjuang untuk kaum tertindas melainkan untuk singgasana ego yang semakin angkuh. Saya tidak lagi melihat karya-karya kaum saya dalam altar prestasi. Saya tidak lagi melihat kaum saya berlomba-lomba untuk menjadi seorang pembelajar, saya tidak lagi melihat kaum saya berdiri kokoh dengan keyakinan yang dianutnya.

Saya tidak bisa menjelaskan dengan sistematis mengapa kini mahasiswa menjadi disfungsi. Peran intelektual-intelektual muda ini telah berubah menjadi peran yang lebih praktis-konsumtif. Tidak hanya gaya hidupnya yang semakin ”termodernisasi” dengan segala fasilitas yang sebenarnya sebuah propaganda. Bahkan pemikiran-pemikiran mahasiswa kini tidak lagi mampu kritis dalam menangkap realitas sosial, kepekaan intelektual mahasiswa telah hilang seiring dengan perubahan zaman yang semakin terglobal. Sekarang saya hanya bisa melihat kaum saya unjuk rasa besar-besaran, menghardik pembuat kebijakan, berkoar-koar tentang perubahan namun tidak dapat mendampingi perubahan, enggan bekerja cerdas untuk berfikir bersama, lebih memilih berhura-hura daripada berpikir untuk kebaikan bersama.

Disatu sisi, saya tidak bisa membedakan lagi antara mahasiswa dengan Event Organizer Konser yang disewa oleh perusahaan Rokok, Kondom, Obat, atau sebangsanya. Kaum ini bekerja mati-matian membuat sebuah gelaran akbar (apapun jenisnya) untuk sebuah Prestige, Ego, Keangkuhan yang dianggap sebagai Monumen dari prestasi mereka yang luar biasa dengan membuat acara besar dan mewah padahal minim esensi, hanya gengsi semata. Tidak segan dana hingga puluhan maupun ratusan juta dihabiskan untuk seremonial-seremonial mubazir ini. Padahal, jika masih mau menggunakan otak dan hati nurani. Masih banyak adik-adik dan sahabat tercinta yang terkukung oleh finansial dan tidak mampu menikmati bangku kuliah.

Lebih parah lagi, banyak mahasiswa yang tidak menyadari statusnya sebagai mahasiswa, sikap dan mentalnya seperti anak-anak. Jangankan membicarakan ide-ide besar, kuliah saja biasanya tidak berminat. Terlalu banyak mahasiswa dengan orientasi ”mencari gelar” yang akhirnya menjadi sampah intektual.

Sekarang coba tanyakan pada mahasiswa, Apa terobosan pemikiran mereka yang berguna bagi nusa dan bangsa? Semoga masih ada yang bisa menjawab. Amin
Read More...

Benarkah Perguruan Tinggi adalah Produsen Koruptor Kelas Kakap ?


Eksotisme Korupsi telah menjadi budaya yang disepakati bersama oleh orang-orang tidak bermoral di bumi pertiwi. Tidak hanya pemerintah, rakyatnya juga. Semuanya sama-sama suka korupsi. Namun yang paling mengkhawatirkan saya adalah bahwa koruptor-koruptor kelas kakap dengan high level of corruption diperankan oleh orang-orang berpendidikan penyandang gelar akademik dari perguruan-perguruan tinggi. Tidak usahlah saya sebutkan nama dan gelar spesifiknya, terlalu banyak. Namun yang jelas ini adalah suatu paradoks istimewa yang mengguncang nalar saya bahwa hukum persamaan antara gelar akademik dan moral ternyata tidak selalu berbanding lurus. Tulisan ini hanya saya konstruksi dari observasi saya pribadi, oleh karena itu sikap skeptisme pembaca saya harapkan dapat memfilter dengan bijak dan cerdas.
Saat-saat diperguruan tinggi merupakan momen yang tepat dalam mengembangkan softskill penunjang karakter ke-korupsi-an. Misalnya dalam budaya mencontek -bibit korupsi- , kebanyakan ”mahasiswa-mahasiswa sekedar pencari gelar” memanfaatkan fenomena ini untuk menunjukan eksistensinya sebagai ”pencontek ulung” dan ajaibnya, mereka bangga atas hasilnya. Mencontek saja perlu kecerdasan dan bukan sekedar mencontek. Tetapi dengan trik-trik sulap yang sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelumnya dengan gaya-gaya yang mampu menipu dosen.
Kedua, jika anda seorang aktivis organisasi, kegiatan-kegiatan organisasi biasanya dibiayai oleh dana perguruan tinggi. Mahasiswa biasanya dituntut membuat manajemen anggaran untuk setiap kegiatan-kegiatan organisasi dan parahnya seringkali terjadi manipulasi data yang dilakukan mahasiswa agar anggaran tersebut tepat padahal dananya dialihkan untuk tujuan lain. Namun demi menjaga ”neraca keseimbangan” karena harus memberikan laporan kepada yang empunya dana terkait penggunaan untuk kegiatan-kegiatan mahasiswa dan biasanya perguruan tinggi tidak mau tahu menahu mengenai penggunaan ”biaya siluman” ini dan mengesahkan saja pertanggungjawaban mahasiswa atas kegiatannya.
Ketiga, mahasiswa dijadikan koruptor intelektual untuk menjadi perompak karya orang lain (plagiat) demi sebuah esteem yang dianggap rasional. Mahasiswa dijejali tugas-tugas yang tidak kreatif dan akhirnya memaksa mahasiswa melalukan kecurangan akademik demi memenuhi syarat mata kuliah tertentu.

Anda pasti akan menganggap bahwa tulisan ini sangat subyektif, memang tulisan ini sangat subyektif dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Tapi anda bisa melihat realitanya sendiri di kemudian hari dan buktikan senciri oleh panca indera anda dan gunakan akal sehat untuk mencermatinya. Anda juga pasti beranggapan bahwa sebenarnya mahasiswa sendirilah yang salah bukan perguruan tingginya. Benarkan?, tapi coba anda berpikir secara holistik bahwa perguruan tinggi dan mahasiswa adalah sistem yang saling terkait. ”makna” pendidikan sesungguhnya telah hilang dan berganti dengan sistem pengajaran ala Hitler yang memberi ruang kepada mahasiswa untuk meninggalkan kreativitas terbaiknya mahasiswa telah dijadikan budak-budak intelektual tanpa pendidikan moral.
Read More...

Meluruskan Sejarah : Menggugat Neil Amstrong

Acapkali terjadi sebuah distorsi interpretasi sejarah yang dilakukan oleh manusia. Tanpa harus dicermati secara kognitif, peristiwa sejarah sebenarnya juga memiliki kepentingan-kepentingan lain dibalik perumusan fakta, hal ini sering tercermin dalam buku-buku sejarah yang ditulis dengan persepsi kepentingan yang subyektif oleh para penulis-penulis yang tidak skeptis. Menjiplak seadanya kemudian mengaku telah melakukan studi literatur hingga ratusan tahun yang lalu dan berupaya meyakinkan pembaca bahwa penulis sudah membuat state of the art.
Salah satu yang menarik tentang perumusan fakta masa lalu adalah sejarah tentang perjalanan manusia ke luar angkasa, seringkali ditemukan dalam buku-buku pelajaran sekolah dasar dikatakan bahwa orang pertama yang pergi keluar angkasa adalah Neil Amstong, seorang astronot dari Negeri Paman Sam. Namun ternyata hal tersebut salah kaprah, sebab kenyatannya pembaca harus dapat membedakan benar kata-kata Pergi keluar Angkasa dan Menginjakan Kaki di Bulan. Saya sepakat bahwa Neil Amstrong adalah orang yang pertama kali menginjakan kaki di Bulan. Namun terlalu naif jika harus membenarkan sejarah bahwa Neil Amstrong adalah manusia pertama yang pergi keluar angkasa. Lantas siapakah sebenarnya manusia pertama yang pergi ke luar Angkasa?
Pada tahun 1960’an, Rusia adalah negara maju dengan teknologi yang melebihi negara manapun di dunia, termasuk Amerika. Saat itu pula Rusia untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia mengirimkan Yuri Gagarin, Seorang Kosmonot kelahiran Rusia untuk melalukan ekspedisi luar angkasa . 12 April 1961, Yuri Gagarin merintis penerbangan ruang angkasa saat roket raksasanya menempatkan dirinya pada orbit-rendah Bumi. Saat itulah mata manusia untuk pertama kalinya bisa melihat keindahan Bumi dari ruang angkasa yang hampa udara dengan kapsul Vostok-1. Ia adalah seorang pemberani yang merasakan ”nuansa” berbahaya dan menegangkan demi membuat suatu loncatan sejarah bagi kaumnya.
Neil Amsrong baru berhasil mengikuti jejaknya beberapa tahun sesudah Yuri Gagarin mencetak sejarah. Tepatnya 20 Juli 1969, dalam Misi Apollo 11 yang dikawal oleh NASA, untuk pertama kalinya Bangsa Amerika akhirnya mampu menancapkan bendera di Bulan.

Read More...

Perubahan Sosial Masyarakat Jepang (2) : Negara yang gemar berperang


Sepeninggal Kaisar Meiji Ditahun 1912, Tahta tertinggi pemerintahan Jepang diambil alih oleh Taisho. Saat Taisho berkuasa, Jepang mulai mengenal istilah Demokrasi Liberal sebagai ”pemanis’ dari sistem pemerintahan agar lebih menarik simpati rakyat. Pada Masa ini Jepang juga terlibat dalam perang dunia I untuk melawan Jerman. Bahkan anggaran terbesar untuk pembiayaan negara difungsikan untuk pembiayaan militer dan beraliansi dengan sekutu. Alhasil, meski Jepang menang perang, namun di dalam negeri, Jepang mengalami krisis yang sangat memprihatinkan. Terutama sektor pertanian Jepang yang merosot tajam sehingga banyak rakyat jepang yang mati kelaparan. Sementara itu pejabat-pejabat tinggi jepang terkena virus korupsi dan politik uang yang mengakibatkan kesenjangan sosial yang sangat tajam dikalangan pemerintahan dan rakyat sipil. Rakyat menjadi gerah atas gaya hidup hedonis para penguasa sementara banyak rakyat kecil yang mati kelaparan karena kekurangan beras dan puncaknya, peristiwa Rice Riot pun tak bisa dihindari pada tahun 1918. Ditengah kondisi Jepang yang mengalami krisis, pada tahun 1921 Jepang bersama dengan Amerika, Inggris, Italia dan Prancis menandatangani Perjanjian Washington untuk membatasi kekuatan angkatan laut. Namun Jepang diberlakukan tidak adil, sebab angkatan laut jepang dibatasi dengan skala yang lebih kecil dari keempat negara lainnya. Hal ini membuat rakyat jepang menjadi marah karena merasa direndahkan dan dilecehkan terang-terangan oleh bangsa barat.
Di dalam negeri, kelompok esktrim bermunculan karena situasi jepang yang sangat memperihatinkan. Kaum-kaum ultranasionalis berkembang pesat dengan dukungan penuh dari militer. Mereka bertekad untuk memperjuangkan harga diri bangsa Jepang sebagai bangsa yang kuat dan tidak bisa dilecehkan begitu saja oleh bangsa lain, apalagi bangsa barat. Pemimpin jepang yang dianggap lemah disingkirakan dan diganti oleh golongan nasionalis dan militer untuk duduk diparlemen dengan dukungan rakyat dan membangun era militerisme. Jepang kemudian keluar dari liga bangsa-bangsa dan menlakukan invansi ke daerah-daerah di Asia Timur dan mencoba untuk merebut Asia Tenggara dan wilayah perairan Pasifik dari Amerika dan Inggris. Klimaksnya, Jepang melakukan serangan ke pangkalan angkatan laut terbesar Amerika, Pearl Harbour. Serangan dadakan ini berhasil memporak-porandakan armada Amerika dan menewaskan lebih dari 2000 orang dan ribuan lainnya terluka serta menghancurkan kapal-kapal induk Amerika. Militer Jepang seperti kerasukan setan, pasca menyerang Pearl Harbour, serangan dilanjutkan ke seluruh pasifik hingga akhirnya dapat dikuasai Jepang secara total. Namun kejayaan Jepang tidak berlangsung lama, Sekutu segera meluncurkan serangan balasan dan memukul mundur militer Jepang. Di bawah instruksi Presiden Roosevelt, Amerika bangkit dan berusaha menghancurkan militer Jepang. Namun jepang tidak mau menyerah begitu saja. Demi harga diri yang sangat tinggi, Jepang memberlakukan wajib militer bagi laki-laki berumur 13 tahun hingga 60 tahun untuk berjuang bersama melawan sekutu dengan senjata apapun yang mereka miliki. Namun takdir berkata lain, Pada tanggal 6 Agustus 1945 Kota Hiroshima di bumihanguskan oleh senjata pemusnah paling dahsyat yang pernh diciptakan manusia, yaitu bom atom yang menewaskan seratus ribu rakyat Jepang dan disusul serangan kedua pada tanggal 9 Agustus 1945 di Kota Nagasaki yang akhirnya memaksa Jepang Menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Jepang hancur lebur, tak berdaya, semua infrastrukur penting hancur, seolah tidak ada harapan lagi bagi bangsa Jepang.
Read More...

Manusia-Manusia Tersosiologi

Pada umur 18 tahun, ketika saya dinobatkan sebagai salah satu mahasiswa IPB program sarjana Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat(jurusan ini termasuk gaib bagi saya saat itu). Saya bertanya-tanya, mengapa tuhan memberikan takdir yang agak sedikit menyimpang dari jalan yang biasanya saya lalui(saya waktu SMA notabenenya anak IPA yang terbiasa dengan ilmu-ilmu alam yang materialistik). dan pada saat kuliah, saya harus memanuver otak saya untuk beradaptasi dengan ilmu yang cukup asing bagi saya yaitu ilmu-ilmu dengan ranah sosial (sewaktu SMA, anak-anak dengan jurusan ini direpresentasikan sebagai golongan ke 2 dengan tingkat kenakalan remaja yang cukup merubah guru menjadi tukang pukul). Sosiologi adalah basis ilmu yang menjadi pondasi saya ketika mengarungi bahtera perkuliahan yang kadang membosankan karena harus berjibaku dengan rumusan-rumusan abstrak yang dibuat manusia yang belum tentu benar dan spekulatif.

3 tahun saya mencari jawaban atas takdir tuhan tersebut. Hari ini 15 April 2011 saya menemukan jawaban atas semua pertanyaan itu. Bahwa tuhan men"deploy" saya dilubang ini bukan semata-mata untuk mencari kemegahan ilmu pengetahuan dengan status IPK tinggi plus Gelar Akademis yang menyerupai gerbong kereta atau menjadi aktivis mahasiswa yang tidak realisitis. Namun saya yakin tuhan menjebak saya agar saya mampu belajar menjadi manusia, "Menjadi Manusia".
Sosiologi yang dikemas dengan pemikiran-pemikiran manusia terdahulu yang memberikan gambaran kepada saya bahwa saya tidak hidup sendirian di dunia ini. saya hanyalah bagian kecil dari suatu sistem (menurut para struktural fungsionalis) yang bergerak dalam keseimbangan dinamis dan percepatan suatu momentum perubahan. saya melihat orang-orang berpendapat dan mempertahankan pendapat demi apa yang dianggapnya benar, dan kemudian saya bertanya kepada diri saya, benarkah Kebenaran itu ada?

Hampir Tersesat
Saya kemudian berhipotesa bahwa kebenaran itu hanyalah ilusi, semua itu hanyalah pembenaran manusia semata. Hati saya berkecamuk dalam ketidakpastian. Lambat saya berfikir, dan saya merasa bahwa tuhan mendekati saya seraya berkata, "Kebenaran itu Milik-Ku". dan hingga saat ini saya percaya bahwa satu-satunya kebenaran adalah Tuhan dan semua Firmannya yang dimanifestasikan sebagai Agama atau kepercayaan.

Perlahan Logika mulai membunuh saya. Bagaimana tidak, ranah agama itu tidak bisa disamakan dengan ranah ilmu pengetahuan yang bisa dijelaskan secara logis dan sistematis. Bahkan Tuhan saja tidak tampak?, realistiskah itu?, hati saya berkecamuk kembali. Semakin saya mempertanyakan keberadaan Tuhan, ternyata saya semakin dekat dengan-Nya,semakin saya merasakan bahwa Tuhan hadir dan membantu saya menyelesaikan masalah dengan cara-Nya yang diluar logika saya. Saya percaya bahwa Tidak perlu nalar untuk memahami Tuhan namun yang paling penting adalah suatu keyakinan (baca :iman) untuk mengerti dan memahami, dan kemudian pemahaman-pemahaman itu merekonstruksi diri saya.

Dan saya mengerti sekarang, Mengapa saya harus memahami sosiaologi, Tuhan memberikan jalan ini kepada saya agar saya lebih bijaksana dalam memahami kehidupan. bahwa kebenaran itu hanyalah Milik-Nya dan saya harus mampu melihat semua realitas lebih dekat tanpa harus menuduh, menghujat, mengkritik, ataupun menyalahkan, karena saya yakin setiap manusia bertindak sesuai apa yang ia anggap benar dan ia yakini. saya tidak berhak melakukan "hukuman sosial" jika orang lain bertindak berbeda dengan pemikiran saya.

karena itulah saya paham. Sosiologi sebenarnya menginginkan agar manusia yang mempelajarinya mampu menjadi manusia yang bijak karena mampu memahami dan menganalisa lebih dalam sesuai realistas yang ada secara holisitik tanpa harus memberikan interpretasi berlebihan terhadap manusia. dan yakinlah bahwa kebenaran hanyalah utopia belaka yang direkonstruksi.

"balajarlah menjadi manusia. jika engkau bosan memperlajari tentang manusia"

Read More...

Sekilas Tentang Pengelolaan Kolaboratif


Dunia dan isinya cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun Bumi dan isinya tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan Manusia. (Gandhi)

Filosofi inilah yang kemudian mengantarkan saya untuk berfikir lebih jauh tentang hakikat diciptakan manusia dan lingkungan sebagai kesatuan yang holistik. bahwa alam pada dasarnya diciptakan Tuhan untuk melayani manusia, memberikan semua yang hakikatnya memang dibutuhkan manusia. Namun perubahan memang tidak bisa dihindari. Pola pikir yang semakin berkembang (baca:Materialistik) semakin tajam dan signifikan mempengaruhi perilaku manusia dalam memanfaatkan "produk alam"

Kebutuhan dan Kepentingan manusia bercampur sehingga seringkali terjadi crossover yang saling tumpang tindih dan menyebabkan alam harus menjadi pemuas satu-satunya yang dapat dimanfaatkan untuk hal tersebut. namun permasalahannya sekarang adalah "sumber daya alam terbatas sedangkan keinginan manusia tidak terbatas", yang kemudian menyebabkan terjadinya kepunahan dan kerusakan sumber daya alam.

Melalui Hukum yang dibuat manusia jualah sumber daya alam kemudian dijadikan "hak milik" dan dikelola dengan tangan-tangan manusia yang mengaku berkepentingan atas sumber daya alam tersebut dalam kehidupannya. Namun percaya atau tidak, fakta telah membuktikan bahwa seringkali pengelolaan sumberdaya alam yang dikelola oleh pihak tunggal(apalagi yang berorientasi bisnis) tidak mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam tersebut, terutama dalam menjamin aspek sustainablitily. Oleh karena keterbatasan inilah, dewasa ini dikenal suatu konsep yang dinamai sebagai "Pengelolaan Kolaboratif" yang menjadi suatu alternatif dalam pengelolaan sumber daya alam yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat langsung dan berkepentingan dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatkan SDA.

Adanya sinergi kepentingan dan penyatuan visi dari masing-masing pihak menjadi modal utama dalam membangun kelembagaan sosial dan penguatan pengetahuan lokal yang spesifik dan dapat diterapkan dalam basis pengelolaan sumber daya alam
Read More...
    Merah Putih Clothing & Design

Pamplet Bulan April

Pamplet Bulan April

Kampus

Institut Pertanian Bogor