Jakarta : Kota yang Boros


Jakarta adalah ”Kota Impian” bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah pinggiran. Selain menjadi pusat pemerintahan, Jakarta juga merupakan pusat bisnis dan keuangan. Data statistik keuangan negara tahun 2009 menyebutkan bahwa lebih dari 70% uang negara beredar di Jakarta. Tidak dapat dipungkiri memang, pembangunan ekonomi yang sentralisitik membuat Jakarta memiliki daya magnetis yang sangat kuat bagi pengusaha lokal maupun asing sehingga arus perekonomian negara menjadi terpusat di Jakarta. Perusahaan-perusahaan raksasa kemudian bermunculan, kegiatan perindustrian tumbuh bagaikan jamur saat musim hujan. Hal ini kemudian menjadikan Jakarta menjadi ”Lahan basah” bagi masyarakat untuk perbaikan kehidupan perekonomian mereka.
Seseorang melakukan sesuatu karena ada rangsangan rasional dan motif ekonomi (Marx, 1867), seperti itulah gambaran urbanisasi besar-besaran menghantam kota dengan luas daratan 661,52 km² ini. Pertumbuhan penduduk di kota Jakarta secara konsisten menunjukkan peningkatan yang signifikan, dimana pada tahun 1961 hanya berpenduduk 2,9 juta jiwa lalu melonjak menjadi 4,55 juta jiwa 10 tahun kemudian. Pada tahun 1980 bertambah menjadi 6,50 juta jiwa dan melonjak lagi menjadi 8,22 juta jiwa pada tahun 1990. Dan pada tahun 2010, jumlah penduduk Jakarta berjumlah 9.588.198 juta jiwa, ditambah lagi dengan angka komuter dari kota-kota satelit berjumlah 2,7 juta jiwa setiap harinya dan 21,3 persennya adalah pegawai pemerintah. Ketidakseimbangan antara ledakan penduduk dengan lahan yang tersedia akhirnya membawa Jakarta menjadi kota yang sangat sesak. Carrying capacity kota Jakarta tidak lagi mampu menahan penduduk yang semakin lama semain banyak. Data terakhir tahun 2008 dari BPS menyebutkan bahwa penggangguran di Jakarta meningkat sebesar 21,32%, dimana surplus tenaga kerja unskill dan unqualified menimbulkan masalah-masalah sosial dan lingkungan yang semakin parah (Paramita, 2007). Munculnya slum area di jakarta yang mencapai 8.000 hektare (Bappenas) menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan terutama di daerah bantaran kali yang menjadi pemukiman non permanen bagi masyarakat miskin Ibu kota. Selain itu, hampir 70 persen lahan Jakarta dipadati bangunan fisik yang mengakibatkan daerah resapan air menjadi terbatas. Hal lain yang menjadi masalah yaitu tingginya jumlah kendaraan roda empat yang mencapi 3 juta unit di tahun 2010, serta jumlah sepeda motor yang mencapai 8 juta unit pada Mei 2010 (Tribbunnews), hal ini tentunya menyebabkan tingkat emisi dan pencemaran udara di Jakarta sangat tinggi. Selain itu, andai kemacetan akibat pertumbuhan kendaraan tersebut bisa ditanggulangi, maka Jakarta dapat menghemat sekitar Rp 9,34 miliar per menitnya(Harmadi, 2010).

0 komentar:

Posting Komentar

    Merah Putih Clothing & Design

Pamplet Bulan April

Pamplet Bulan April

Kampus

Institut Pertanian Bogor